Peran Literasi Digital dalam Menangkal Hoaks

Narasumber: Febrina Galuh-AJI Indonesia

Peran Literasi Digital dalam Menangkal Hoaks

 

Webinar kali ini dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 48 orang yang meliputi 22 Laki-laki dan 18 Perempuan. Menghadirkan dua narasumber yaitu Febrina Galuh (AJI Indonesia) dan Ardha Franstiya selaku koordinator Kerja Sama Organisasi Program MEDIA. Topik yang dibahas pada sosialisasi tersebut bertemakan, Peran Literasi Digital Dalam Menangkal Hoaks.

Peda era saat ini perkembangan teknologi membawa perubahan bagi masyarakat dalam mengakses informasi di internet yang dapat menyebabkan sebagian berita tidak diketahui kebenarannya (hoaks) ikut tersebar secara masif. Hoaks terjadi disebabkan karena internet sebagai media online membuat informasi tersebar secara cepat tanpa melewati adanya proses verifikasi. Keberadaan hoaks dekat kaitannya dengan literasi, untuk menangkalannya dapat dilakukan dengan meningkatkan literasi digital kepada masyarakat. Literasi digital berguna agar masyarakat dapat menggunakan media sosial secara efektif sehingga masyarakat memiliki kemampuan dalam berfikir kritis, kreatif, dan juga inovatif dalam menerima dan mengakses segala bentuk informasi khususnya disinformasi.

Berdasarkan data dari Google Asia Pasifik tahun dan Temasek tahun 2018, Indonesia menempati sebagai salah satu dari enam negara di Asia Tenggara dengan harga paket data internet yang terjangkau di antara lima negara lain, di antaranya: Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Harga 1 GB paket data internet di 6 negara tersebut sangat terjangkau dari segi harga, tidak mencapai 1% dari rata-rata pendapatan setiap bulan warga negaranya.

Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2002, memaparkan tingkat penetrasi internet di Indonesia berjumlah 77,02%, hampir semua masyarakat sudah memiliki akses internet. Berdasarkan pendapatannya, terdapat 46% masyarakat menghabiskan biaya sebesar Rp. 50.000- Rp. 100.000 setiap bulan untuk mengakses internet. Selain itu, data tersebut juga memaparkan  bahwa sebagian besar responden sekitar 77,54% menggunakan atau membeli paket data dari operator seluler dan sebagian besar masyarakat mengakses internet melalui gawai.

Selama mengakses internet, pengguna akan diterpa berbagai macam informasi dari berbagai sumber informasi.  Temuan APJII mengungkapkan dalam surveinya, sebagian besar responden atau 89,15% mengakses media sosial selama terhubung dengan internet, jadi sebagian besar waktunya digunakan untuk mengakses media sosial. Kemudian sekitar 73,86%  mengakses internet untuk chatting online, 21,26% shopping online, 14,23% game online, namun pengguna menggunakan internet untuk akses berita dan belajar online sangat minim berada di kisaran angka 11,98% akses berita dan 2,81% belajar online. Berdasarkan data tersebut literasi menjadi kunci yang penting sekali untuk dilakukan. Lebih lanjut, hasil survei tersebut mengungkapkan terdapat 58% pengguna internet membagikan ulang informasi yang didapatkan di sosial media.

Menurut UNESCO literasi media dan informasi sangat penting, UNESCO menilai bahwa literasi media dan informasi adalah konsep kunci yang dapat menyatukan berbagai bidang konvergen yang berbeda di tengah saling-silang penggunaan platform digital yang terjadi, karena kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Hal tersebut merupakan kerangka penting untuk memenuhi adanya media dan informasi secara keseluruhan.

Perbedaan antara literasi media, literasi informasi, dan literasi digital adalah literasi informasi menekankan pentingnya akses dan evaluasi informasi serta secara etis memanfaatkan informasi tersebut. Sedangkan literasi media berkaitan dengan akses informasi, kebebasan berekspresi, serta kemampuan dalam memahami fungsi media dan perusahaan komunikasi digital guna melakukan evaluasi terhadap konten dan fungsi-fungsi tersebut, serta terlibat secara kritis untuk pembangunan berkelanjutan dan ekspresi diri. Kemudian literasi digital menitik beratkan pada kemampuan teknis dalam mengoperasikan teknologi digital untuk mengahasilkan berbagai format konten digital.

Berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh Kominfo tahun 2021, bahwa indeks literasi digital Indonesia masih berada di posisi ‘sedang’ dengan skor 3,49. Hasil riset tersebut cenderung tidak jauh berbeda dengan status riset sebelumnya, belum ada peningkatan yang signifikan dari tahun 2020-2021, masih berada pada level ‘sedang’.

Terdapat empat pilar kerangka indeks literasi digital yang digunakan Kominfo pada tahun 2021, yakni: kecakapan digital (digital skill), etika digital (digital ethics), keamanan digital (digital safety), dan budaya digital (digital culture).

Berdasarkan pada indeks literasi digital di Indonesia tahun 2021, pilar dengan skor terendah adalah pilar keamanan digital (digital safety) pada angka 3,10 dan pilar dengan skor tertinggi adalah pilar budaya digital (digital culture) dengan angka 3,90, sedangkan pilar etika digital (digital ethics) mendapat skor 3,54, dan kecakapan digital (digital skill) mendapat skor 3,44. Jika dibandingkan transformasi  indeks literasi digital tahun 2020 dan 2021, terdapat sedikit peningkatan yang menunjukkan adanya upaya yang cukup signifikan tapi masih perlu perhatian bersama untuk semua pihak pada bagian digital skill dan digital culture. Namun  digital ethics dan digital safety justru mengalami penurunan, karena hal tersebut bisa diakibatkan dari munculnya tindakan yang kurang etis seperti perundungan di media sosial saat ini.

Dari survei yang sama yang dikeluarkan oleh Kominfo menunjukkan bahwa berita online menempati urutan ketiga sebagai kanal yang sering diakses warganet Indonesia untuk mendapatkan informasi, sedangkan urutan yang pertama  adalah media sosial kemudian televisi di urutan kedua. Berdasarkan urutan sumber informasi yang terpercaya televisi menempati urutan pertama, kemudian disusul media sosial pada urutan kedua, dilanjutkan situs web pemerintah, dan berita online. Dari data tersebut, ironisnya situs web pemerintah atau berita online jauh berada di bawah media sosial, sehingga media sosial menjadi tempat subur untuk menyebarkan misinformasi dan disinformasi. Data lain yang dikeluarkan Reuters Institute menyebutkan bahwa kecenderungan orang di Indonesia membagikan hoaks melalui Whatsapp dan Facebook.

Teknologi digital membuat penyebaran hoaks lebih luas dan cepat tapi teknologi digital juga membantu kerja-kerja Jurnalis dan publik untuk membongkar hoaks melalui pemeriksaan fakta (fact checking). Banyak masyarakat Indonesia menggunakan internet dengan tingkat literasinya yang ‘kurang baik’, hal tersebut dapat berdampak pada salah dalam mengambil keputusan dan pilihan sikap yang berujung pada kematian.

Sebagai upaya untuk meningkatkan literasi digital dan media, Aliansi Jurnalis Independen melakukan upaya pelatihan cek fakta dan verifikasi, pelatihan cek fakta terkait misinformasi vaksin dan covid-19, mengembangkan materi pre-bunking dan radio, pelatihan literasi digital, kolaborasi dengan kampus dan media, serta memperkuat kolaborasi cek fakta. Hingga saat ini Aliansi Jurnalis Independen memiliki 174 trainer dan melatih kurang lebih 19.155 Wartawan, Akademisi dan Mahasiswa di selururuh Indonesia per-2021. Selain itu AJI melakukan kolaborasi dengan berbagai media dan juga bersama Mafindo. Berkolaborasi  dengan cekfakta.com  mengadakan kolaborasi factchecker Indonesia yang diinisiasi oleh AJI, AMSI, dan MAFINDO yang hingga saat ini terdiri dari 24 media.