Jurnalisme Warga dan Dampaknya Terhadap Sosial Media
Webinar kali ini dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 54 orang yang meliputi 27 Laki-laki dan 27 Perempuan. Menghadirkan dua narasumber yaitu Marietta Ramadhani Selaku Program Officer PPMN dan Dedy Helsyanto selaku Program Officer MEDIA. Topik yang dibahas pada sosialisasi tersebut bertemakan, Jurnalisme Warga dan Dampaknya Terhadap Sosial Media.
Seiring dengan perkembangan teknologi kita semua semakin memiliki kemampuan untuk melakukan kegiatan jurnalistik yang didukung dengan banyaknya platform media sosial yang tersedia bagi kita semua. Setiap orang bisa dengan mudah meng-klik atau mengunggah konten apapun baik itu berupa teks, foto ataupun video menggunakan gawai, hal ini menyebabkan persebaran informasi kepada khalayak terjadi dengan sangat cepat, dengan banyaknya platform media sosial yang sangat banyak dan sangat mudah untuk diakses oleh masyarakat, pada perkembangannya menumbuhkan citizen journalism (Jurnalisme warga, hal tersebut membuat masyarakat yang tidak berprofesi sebagau wartawan bisa juga memberikan informasi kepada publi. Banyaknya informasi yang tersebar memberikan dampak positif namun juga memberikan dampak negatif, untuk memahami fenomena tersebut Mafindi bekerja sama dengan USAID dan juga Internews mengadakan webinar dengan mengangkat tema ‘Jurnalisme Warga dan Dampaknya Terhadap Media Sosial’.
Secara definisi Jurnalis warga merupakan masyarakat biasa yang melakukan kegiatan jurnalistik dengan membuat media sendiri, bisa dari blog atau website sendiri yang berbasis komunitas atau individu bukan dari perusahaan profesional.
Jurnalis warga hanya berkonsentrasi pada mutu, jumlah, dan pengayaan terhadap isi beritanya, karena dalam jurnalis warga tidak ada struktur pemimpin umum, pemimpin redaksi, ataupun pemimpin perusahaan. Jurnalisme biasanya dilakukan secara individu dengan agenda aktivisme karena jurnalis warga kegiatannya pararel dengan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat khususnya dalam bidang layanan publik, pendidikan kesehatan, dan lingkungan.
Berdasarkan sejarahnya konsep jurnalisme warga berkaitan dengan civic journalism atau public journalism atau public journalism di Amerika Serikat setelah pemilihan Presiden pada tahun 1998. Saat itu publik di Amerika Serikat mengalami krisis kepercayaan terhadap media mainstream seputar pemilihan presiden Amerika Serikat, warga AS Memberikan komentar melalui media-media sosial. Selain itu, dari Korea Selatan pada tahun 2000, dimana terdapat pengusaha bernama OhHyun Ho dan tiga mahasiswa menciptakan sebuah kolom berita daring independen dengan slogan ‘setiap orang adalah jurnalis’. Reaksi terhadap kolom pemberitaan tersebut cukup banyak, hingga akhirnya dalam kolam berita tersebut semua warga Korea Selatan menulis dan mengunggah berita mereka masing-masing. Kejadian tersebut merupakan reaksi pengusaha tersebut dan mahasiswa terhadap pemberitaan media Korea Selatan yang dianggap tidak berorientasi pada kepentingan publik.
Di Indonesia jurnalisme warga mulai berkembang pada saat terjadi tsunami di Aceh pada tahun 2004. Pada saat itu pasca terjadinya bencana, media lokal Aceh memanfaatkan video atau foto yang dibuat dari/oleh warga, pada saat itu banyak warga mengunggah video-video kejadian tsunami diunggah ke dalam YouTube. Kemudian unggahan video tersebut menjadi alternatif bagi media.
Tantangan teknologi
Internet setiap tahunnya mengalami perkembangan yang sangat pesat, dengan kehadiran internet tersebut membuka akses warga untuk dapat memproduksi informasi. Kemajuan teknologi mendorong kemampuan untuk melakukan kegiatan jurnalistik dan bisa menyebar pada semua orang, setiap orang dapat menyebarkan informasi dari media sosial, mengunggah video secara langsung menggunakan gawai, dan menyebarkan informasinya secara cepat pada khalayak. Batasan antara produsen dan konsumen semakin mengalami pengaburan tidak dapat diprediksi. Perkembangan teknologi juga memungkinkan bentuk baru jurnalisme warga yang lebih partisipatif.
Jurnalisme warga memiliki berbagai ragam bentuk, yakni Non-institusional (website sendiri yang dibuat warga bukan media profesional/ konvensional), semi-independen (warga mengirim hasil karyanya pada organisasi arus utama), dan Independen (bergerak secara mandiri dan tidak saling terhubung).
Terdapat perbedaan antara jurnalisme warga dengan jurnalisme profesional. Jurnalisme warga mengedepankan berita-berita suara dari bawah, jadi informasi alternatif, berupa berita atau laporan dari warga yang tidak dimuat oleh media-media konvensional dan hubungannya langsung dengan publik serta lingkungan sekitarnya. Dan mengedepankan aktualitas, dampak serta kedekatan. Sedangkan jurnalisme profesional lebih sering menyoroti kebiasaan buruk dari kekuasaan politik, Kualitas berita yang ditulis jurnalisme profesional lebih unggul karena datanya telah diverifikasi oleh editor, redaktur pelaksana, dan pimpinan redaksi. Selain itu, jurnalisme profesional terikat pada etika profesi dan dilindungi oleh Undang-undang Pers.
Sisi positif dari media sosial berdampak pada informasi yang tersebar semakin beragam dan potensial, jadi siisi positifnya informasinya itu semakin beragam tulisan atau berita, jurnalisme warga bisa lebih menjangkau lebih banyak audiens karena ada sebagian yang mencari berita hanya di media sosial. Kemudian di dalam jurnalis warga, warga lebih partisipatif menjadi agen perubahan dengan kegiatan warga dan dengan pemberdayaan warga. contohnya misalnya media sosial saat ini seperti Facebook, Instagram, dan Twitter memiliki dampak yang luar biasa dalam praktik dan bisnis jurnalisme. Perputaran informasi saat ini sangat cepat, kini media sosial membantu warga mendapatkan informasi secara cepat bahkan menemukan informasi dan membagikannya, namun di sisi lain setiap informai yang diterima perlu diverifikasi, untuk melakukan verifikasi dibutuhkan keinginan yang kuat melakukan pengecekan fakta dan perlunya kontrol terhadap arus informasi.