Merebut Kembali Kepercayaan Publik Pada Media

 

Merebut Kembali Kepercayaan Publik Pada Media

Socialization of the Engagement Platform V, dilaksanakan pada tanggal 10 September 2022 dengan mengangkat tema pembahasan ‘Merebut Kembali Kepercayaan Publik Pada Media’, dengan menghadirkan dua narasumber yakni: Heru Margianto dari AMSI dan Arief Putra dari Mafindo. Webinar kali ini dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 48 orang yang meliputi 13 Laki-laki dan 19 Perempuan.

Kemunculan literasi media memiliki pengaruh besar dalam mendominasi seluruh sektor kehidupan masyarakat, hal tersebut tidak terlepas dari peningkatan informasi dan teknologi. Oleh karena itu, literasi media memiliki pengaruh dan menjadi elemen penting dalam kehidupan masyarakat, tidak heran jika kemudian literasi media menjadi kontrol sosial bagi masyarakat dalam membangun interaksi maupun perubahan sosial. Di sisi lain polarisisai politik domestik serta praktik media yang kurang benar tak ayal menggerus kepercayaan publik terhadap media, masyarakat saat ini lebih cenderung percaya kepada media sosial. Persoalannya informasi yang beredar di media sosial banyak yang belum terverifikasi, media sosial merupakan tempat yang efektif untuk menyebarkan  hoaks. Oleh karena itu seharusnya media mengambil peran klasiknya sebagai informasi terpercaya, media-media mainstream seharusnya menjadi gerbang dalam menjaga kebenaran.

Berdasarkan data laporan yang dikeluarkan oleh Reuters Institute dan University Oxford mengungkapkan secara global kepercayaan publik terhadap media mengalami penurunan. Minat terhadap berita dan konsumsi berita juga mengalami penurunan di banyak negara, tidak hanya soal Covid-19 tapi juga soal politik dan berbagai topik lainnya. Ada kecenderungan orang-orang yang aktif menghindari berita semakin meningkat tajam. Survei tersebut dilakukan di seluruh dunia dengan responden 93,000 di 6 benua dan 46 market. Ditemukan angka rata-rata kepercayaan terhadap media 42%, dalam angka tersebut rata-rata kepercayaan terhadap media di masing-masing negara berbeda-beda. Finlandia merupakan negara yang memiliki tingkat rata-rata yang tinggi sekitar 69%, kemudian negara dengan rata-rata terendah ialah Amerika 26%.

Alasan orang-orang tidak percaya terhadap media atau menghindari pemberitaan yakni mayoritas 43% mereka muak dengan politik, terlalu banyak berita politik dan soal Covid-19. Menariknya 36% membaca berita membuat mood kurang baik (badmood) tidak membawa kegembiraan. 29% mereka mengatakan bahwa berita-berita tersebut bias tidak bisa dipercaya. 17% mengatakan berita dihindari karena isinya argumentasi-argumentasi yang tidak ingin didengar oleh mereka. 29% mengatakan sudah jenuh dengan berita dan 16% mengatakan  mereka tidak bisa melakukan apa-apa terhadap informasi yang mereka dapatkan.

Di indonesia angka kepercayaan terhadap media berada pada kisaran angka 39% di bawah rata-rata global 42%. Artinya kepercayaan terhadap mediadi Indonesia terhitung tidak bagus/ rendah, media kurang dipercaya masyarakat. Kemudian di Indonesia masyarakat berpandangan terhadap pengaruh yang tidak semestinya pada media, hanya 28% yang berpikir bahwa media independen dari partai politik dan pemerintah, banyak yang berfikir bahwa media merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan politik, kemudian hanya 29% yang percaya bahwa media independen dari urusan bisnis, hal tersebut merupakan salah satu alasan masyarakat Indonesia kurang percaya terhadap media.

Hal lain yang menarik dari survei tersebut yakni orang-orang yang berada di media selalu berpikir apa yang dianggap penting oleh para jurnalis atau wartawan media seperti krisis politik, konflik internasional, pandemi global, dan bencana iklim tampaknya justru membuat orang menjauhi berita, isu-isunya tidak populer di kalangan anak muda, dianggap terlalu berat, bikin pusing , dan dinggap bikin baamood. Apa yang dipandang penting oleh jurnalis media ternyata dipandang tidak penting oleh audiensnya, sehingga mereka merasa berita tersebut tidak cocok.

Berdasarkan opini yang ditulis wartawan Washington Post  yang berdasarkan pada pengalamannya sendiri, dia mengatakan capek baca berita, berita membuat depresi/ badmood. Kemudian dia merasa hidupnya kurang bergairah hingga akhirnya datang ke Psikolog untuk konsultasi. Salah satu anjuran dari Psikolog tersebut adalah stop baca berita, hingga kemudian wartawan tersebut tidak membaca berita dan dia merasakan hidupnya menjadi semakin ringan. Menurutnya berita-berita di media isinya tentang kejelekan, sehingga melihat kehidupan di media terasa seperti suram/ depresi.

Survei lain yang dilakukan Edelman Trust Barometer tahun 2022, angka rata-rata kepercayaan global berada pada angka 50%. Di Indonesia angkanya  menempati urutan kedua 73% di bawah China 80% pada urutan pertama dan di atas India 66% diurutan ketiga, meskipun kepercayaan terhadap media mengalami penurunan. Indonsia mengalami kekhawatiran terhadap isu-isu misinformasi atau hoaks.

Laporan survei Kata Data dan Kominfot tahun 2021 mengatakan jika dilhat berdasarkan perilaku orang Indonesia dalam informasi , biasanya orang Indonesia mendapatkan informasi dengan mengakses media sosial 73,0%, televisi 59,7%, berita online, 26,7%, situs web resmi pemerintah 13,9%, media cetak 4,0%, radio 4,0% dan lainnya. Menurut data tersebut masyarakat Indonesia lebih banyak mendapatkan informasi dari media sosial. Kemudian sumber yang paling dipercaya dalam mendapatkan informasi ialah televisi 47,0%, media sosial 22,4%, situs web resmi pemerintah 17,9%, berita online 8,0%, tidak mengakses informasi sama sekali 1,9%, media cetak 1,8%, radio 0,7%, dan tidak ada yang dapat dipercaya 0,4%.

Berdasarkan urutannya, media sosial yang paling dipercaya oleh masyarakat Indonesia adalah whatsapp, faceebook, instagram, youtube, twitter, telegram, tiktok, line, dan sebagainya. Jadi dari data tersebut tingkat kepercayaan terhadap media ‘turun’ dan kepercaayan terhadap media sosial untuk akses informasi mengalami peningkatan. Kemudian masyarakat menganggap informasi yang dapat di percaya terdapat di media sosial.

Terdapat banyak kritik terhadap media saat ini, terutama sejak era internet dan media onlie, bahkan kritik-kritik terhadap media online tersebut dibukukan seperti dalam buku ‘idealisme jurnalis & inovasi model bisnis industri media’ yang ditulis oleh Dosen-dosen di seluruh kampus Indonesia. Buku tersebut berisi tentang keprihatinan terhadap turunnya kualitas jurnalisme di era digital. Isi kritik di dalamnya terkait dengan akurasi, berita sepotong-sepotong, clickbait, narasumber tidak kredibel, satu narasumber, typo, lemahnya verifikasi, berita asal comot, konglomerasi media, intervensi pemilik, dan independensi.

Ada apa dengan media online?

Ketika masyarakat banyak percaya pada media sosial terutama Whatsapp, persis di situlah terdapat ketidakpastian informasi. Media sosial kaya akan informasi di dalamnya akan tetapi pada saat yang sama tidak diketahui informasinya benar atau tidak. Berita yang tersebar di media sosial belum dipastikan sudah terverifikasi atau belum. Sementara itu kerja-kerja jurnalistik yanng dilakukan oleh sejumlah media dan wartawan profesional  melalui proses verifikasi, akan tetapi masyarakat tidak suka menerima informasi yang benar, walaupun benar tapi tidak sesuai dengan keyakinannya. Masyarakat hanya menyukai informasi yang sesuai keyakinannya meskipun informasi tersebut tidak benar. Pada era post truht ini kebenaran tidak lagi didasarkan pada fakta-fakta empirik tapi kebenaran difilter berdasarkan pada keyakinan.

Jurnalisme tidak semata-mata merupakan entitas jurnalistik, akan tetapi juga merupakan entitas bisnis. Jurnalisme dan bisnis dianalogikan seperti dua sisi dari satu keping mata uang . Mengutip pendapat G.B. Dealey dalam Belo (2008), bisnis yang baik adalah pondasi bagi industri media. Tanpa pondasi tersebut, cita-cita dan idealisme media untuk melayani publik tidak akan tercapai. Sejalan dengan pendapat tersebut menurut Pavlik (2001) dalam Journalism and new media, bisnis yang menguntungkan adalah bagian penting dari jurnalisme. Tanpa bisnis yang menguntungkan, media tidak bisa memperjuangkan idealismenya dalam menyajikan karya-karya jurnalistik yang baik. Sementara media tanpa jurnalistik akan kehilangan makna. Oleh karena itu, media dan jurnalisme yang baik harus berjalan beriringan.

Perkembangan teknologi demikian dahsyatnya, dalam pekembangannya mengubah perilaku audiens, mengubah pola industri media, dan pada akhirnya mengubah kerja-kerja jurnalisme.

Model bisnis media online:

  1. Subscriber
  2. kekuatan: tidak mengenal clickbait, berita serius dan bermutu.
  3. kelemahan: sebaran tidak luas, skala bisnis kecil atau belum menguntungkan
  4. pengaruh kecil
  5. Funding
  6. kekuatan: tidak mengenal clickbait, berita serius dan bermutu.
  7. kelemahan: sebaran tidak luas, pengaruh kecil, siapa yang baca?
  8. Traffic
  9. Kekuatan: Sebaran luas, pengaruh besar, paling sustain
  10. Kelemahan: Potensi clickbait, berita remeh temeh, berita dipecah-pecah.

Saat ini algoritma google sangat mempengaruhi kerja-kerja jurnalistik. Hari ini semua orang bisa bikin media dan cari uang dari media. Namun problematikanya tidak semua orang bisa bikin media mengerti jurnalisme.

Saat ini banyak media abal-abal yang meniru media profesional, konten-konten di dalamnya kurang edukatif. Media-media tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan karena tidak menjelaskan dirinya siapa. Model media tersebut bisa berakibat terhadap kepercayaan publik pada media mainstream.

Cara mengembalikan kepercayaan publik terhadap media:

  1. Busines sustainablity: Upaya mencari model bisnis yang di-drive oleh klik dan regulasi pemerintah.
  2. Kode etik: Menegakkan prinsip kode etik jurnalisme.
  3. Literasi media: Publik perlu tahu bagaimana literasi media yang benar, sehingga bida membedakan nama media yang tegakkan kode etik dan mana yang tidak.