Cakap Literasi Media Melalui Platform Lentera Litera

Cakap Literasi Media Melalui Platform Lentera Litera

Pada webinar ini dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 20 orang yang meliputi 13 Laki-laki dan 7 Perempuan. Menghadirkan dua narasumber yaitu Yuni Pulungan dari Serikat Jurnalis untuk Keberagamaan (SEJUK) dan Dedy Helsyanto selaku Program Officer MEDIA. Topik yang dibahas pada sosialisasi tersebut bertemakan, Cakap Literasi Media Melalui Platform Lentera Litera.

 

Saat ini media mainstream sering menampilkan informasi-informasi untuk masyarakat, akan tetapi tidak sedikit masyarakat yang bisa mempercayai media tersebut dari segi kualitas dan kebenaran informasinya. Hal tersebut menjadi persoalan penting agar masyarakat menambah kepercayaannya terhadap media  dan apakah yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan media yang bisa menumbuhkan kepercayaan masyarakat dan informasi yang sehat di dunia digiital?

 

Saat ini pengguna internet mencari informasi tidak hanya melalui media mainstream, sekarang lebih berkaca pada influencer maupun konten kreator. Dan saat ini apa yang dilihat di media belum tentu merupakan kejadian yang sebenarnya.

Berdasarkan pada kasus di Jakarta terdapat baliho panglima TNI Andika Prakasa mengenakan kaos dengan lambang palu arit (PKI), baliho tersebut sempat viral di media sosial setelah Andika Prakasa memberikan pernyataan bahwa seharusnya rekrutmen anggota TNI tidak melibatkan pertanyaan tentang hubungan antara calon rekrutmen dengan PKI. Menurutnya keturunan PKI harusnya memiliki kesempatan yang sama untuk daftar di TNI. Kemudian setelah pernyataan tersebut muncullah baliho yang menyebut Andika sebagai antek-antek PKI.

Kasus lainnya terkait informasi terkait pemberitaan media online ‘janda cianjur hamil mendadak gegara angin semriwing masuk vagina’, pemberitaan tersebut merupakan contoh jurnalistik yang tidak baik. Padahal berita tersebut jika dikaji sangatlah tidak masuk akal.

Pada kasus lainnya, terdapat grup facebook kumpulan gay di garut tahun 2018 dengan member ribuan, kejadian tersebut menyebabkan masyarakat panik. Kemudian berita tersebut dicomot oleh media hingga kemudian menyebabkan persekusi terhadap kelompok LGBT di beberapa wilayah dan memancing timbulnya beberapa peraturan pemerintah yang tidak inklusif, padahal setelah diperiksa oleh polisi grup tersebut merupakan hoaks. Oleh karena itu, setiap informasi yang diterima hendaknya dilakukan verifikasi terlebih dahulu walapun informasinya disebarkan oleh media mainstream.

Berdasarkan kasus-kasus tersebut dalam konteks media, masyarakat sedang menghadapi disinformasi, misinformasi, provokasi, dan intoleransi. Banyak konten yang salah akan tetapi kita tidak disadari dan disebar, hingga akhirnya orang percaya berita tersebut benar. Kemudian juga terdapat informasi yang salah dan secara sengaja disebarkan untuk membuat informasinya tidak benar dengan memaksakan kepada orang lain bahwa berita tersebut benar. Konten-konten hoaks seperti ini berkaitan dengan komunitas/ kelompok masyarakat yang pada dasarnya secara angka minoritas dan tidak memiliki kuasa, hingga dapat menyebabkan terjadinya provokasi. Kemudian dengan adanya provokasi terhadap orang lain akan menyebabkan terjadinya intoleransi.

Terdapat beberapa hal yang saat ini sedang dihadapi oleh para jurnalis, yakni: bias kepentingan, godaan sensasioanalime, fanatisme masyarakat, kekerasan/kriminalisasi terhadap jurnalis, serangan digital (doxing, DDOS dll), persaingan dengan platform digital, disinformasi & misinformasi, dan isu etik & profesionalisme termasuk clickbait. Jika terdapat konten-konten pemberitaan yang tidak mengedukasi bahkan cenderung hoaks, menyesatkan, memojokkan. Regulasinya bisa mengacu UU Pers No.40/1999, kode etik jurnalistik dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS).

Dalam pasal 8 kode etik jurnalistik dijelaskan wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Sebagai jurnalis seharusnya tidak berangka berdasarkan pada persangka pribadi saja.

Ruang aman digital adalah hak bersama, semua orang berhak merasa aman di manapun termasuk di ruang digital. Pemberitaan-pemberitaan media mainstream yang tidak inklusif, memojokkan kelompok tertentu tanpa verifikasi dan tanpa memberikan ruang aman yang baik, termasuk konten-konten media sosial yang tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan ruang digital tidak aman, dan  menyebabkan ketakukan serta tindakan intoleransi yang dipersekusi di kehidupan dunia nyata.

Mengaca pada berbagai persoalan di atas, kita dapat melakukan pilah platform berita yang terpercaya, saring sebelum sharing, jangan langsung percaya (verifikasi setiap informasi yang diterima), ingatkan orang lain jika menemukan berita salah/ bohong/ manipulatif, melaporkan ke platform sosial media setiap menerima informasi hoaks, dan mengirim pemberitahuan ke media atau dewan pers. Kemudian jika berkaitan dengan pemberitaan media mainstream, bisa dilakukan pernyataan keberatan kepada media bersangkutan maupun kepada dewan pers.

Hal terpenting yang perlu kita lakukan adalah mencoba memberikan ruang diri sendiri untuk belajar dan mengenal setiap isu/kelompok yang paling sering dijadikan konten hoaks/ fitnah/ manipulasi. Dan jika tidak sepakat terhadap suatu informasi bukalah ruang diskusi atau saling sharing, tidak lantas membuat konten-konten yang manipulatif atau hoaks.