Hukum Pers dan Tantangannya di Era Disrupsi Media

 

Hukum Pers dan Tantangannya di Era Disrupsi Media

Webinar ini dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 84 orang yang meliputi 36 Laki-laki dan 48 Perempuan. Menghadirkan dua narasumber yaitu Mona Ervita Peneliti dari LBH Pers dan Dedy Helsyanto selaku Program Officer MEDIA. Topik yang dibahas pada sosialisasi tersebut bertemakan, Hukum Pers Dan Tantangannya di Era Disrupsi Media.

 

Majunya teknologi informasi membuat media memiliki  tantangan tersendiri, selain hoaks media juga dihadapkan pada era new media yang sarat dipenuhi disrupsi informasi. Presiden Republik Indonesia Joko widodo sempat menyinggung soal era disrupsi dalam pidatonya pada kongres ke-6 Ikatan Jurnaslis Televisi Indonesia (JTI ), Jokowi mengatakan pers harus beradaptasi dengan keadaan secara cepat dan inovatif dalam menghadapi disrupsi teknologi, menurutnya tantangan pers di rea disrupsi tidak hanya menyajikan jurnalisme baik dan menghadirkan fakta tetapi juga menjadi jurnalisme yang bijak atau dapat mempertimbangkan segala dampak yang ditimbulkan. Jurnalisme bijak tidak terlepas dari masifnya media daring yang bermunculan di Indonesia. Kemudian bagaimana pandangannya dalam hukum serta tantangan pers di era disrupsi media?

 

Jumlah media di Indonesia semakin banyak, era disrupsi adalah bagaimana suatu kondisi terjadinya inovasi teknologi secara besar-besaran atau perubahan dari media konvensional beralih ke ranah digital. Lanscape media di Indonesia saat ini banyak sekali dan bisa diakses melalui gawai. Dulu akses terhadap informasi sangat terbatas harus membeli koran atau majalah namun sekarang kapanpun informasi bisa diakses tanpa ada batasan waktu.

Bahkan saat ini masyarakat bisa membuat media sendiri sebagai bentuk kebebasa/ hak yang dimiliki sebagai warga negara Indonesia. Dinamika akhir-akhir ini media mengarah pada media baru (new media) bukan lagi media konvensional. Semakin masifnya new media berdampak pada semakin banyakya informasi yang dapat diterima serta berdasarkan pada sudung pandang informasinya yang semakin beragam.

Tantangan era new media kaitannya dengan UU Pers  adalah UU Pers lahir pada saat reformasi disebabkan kondisi politik waktu itu. UU Pers merupakan produk dari reformasi pada tahun 1999 dengan UU no.40 tentang pers. Namun UU Pers belum ada revisi sama sekali sejak tahun 1999, tantangannya adalah bagaimana menyesuaikan era new media dan disrupsi media dengan hum pers yang ada?

Tantangan era new media:

  1. Data Kominfo tahun 2021 tedapat 202,6 juta pengguna internet di Indonesia.
  2. Munculnya new media dan meninggalkan old media hingga berdampak pada sektor ekonomi perusahaan pers dan hak pekerja media. Catatan dari LBH Pers, jam kerja wartawan semakin bertambah, karena ada tuntutan untuk mendapatkan berita.
  3. Kemudahan memperolehh konten dan informasi, namun tidak memperhatikan kualitas persnya. Catatannya kemudahan dalam memperoleh informasi tidak beriringan dengan kualitas pers.
  4. Kurangnya literasi dan masyarakat lebih membutuhkan media sosial daripada media konvensional.
  5. Terdapat 43.500 media online di Indonesia tapi tidak semuanya terdaftar di dewan pers, permasalahan lainnya adalah yang diuntungkan dengan hal tesebut adalah platform besar seperti google, facebook, youtube, instagram, twitter dll.karena secara adsens menguntungkan kepada google tersebut.
  6. Kurangnya kualitas media yang kritis karena mengandalkan iklan, humas pemerintah, partai politik, dan kemitraan. Lebih lanjut ada potensi oligarki media, seperti yang dikatakan Rose Tepsel dalam relasi kuasa media beberpa media besar di Indonesia hampir 100% mempunyai hubungan oligarki media yang sebagai pengusaha, pemangku kebijakan, dan di balik itu berkaitan dengan partai politik dan kepentingan pemerintah. Hal tersebut menjadikan kualitas media di Indonesia menurun, tapi ada beberapa media kecil kritis dalam menginformasikan suatu isu.
  7. Munculnya media siber yang memunculkan adanya pedoman pemberitaan siber di dewan pers. Kemunculan ini dilandasi oleh pemangku kebijakan dewan pers yang memperhatikan tidak adanya revisi UU Pers dan menghadirkan pedoman pemberitaan siber.
  8. Masih terjadinya intervensi pemilik media ke ruang redaksi, tidak adanya konfirmasi, terdapat kloning berita, dan berita sensasional.
  9. Kulaitas jurnalistik mempengaruhi kesejahteraan pekerja media.
  10. Munculnya media alternatif seperti jurnalisme warga, pers mahasiswa, media alternatif, blogger dll.
  11. Kesempatan bagi media besar untuk melakukan kolaborasi dengan media rintisan seperti kumparan 1001 media.
  12. Munculnya media abal-abal yang menyebarkan hoaks. Kualitas beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan fakta atau hoaks.
  13. Hadirnya UU IT yang masing menjadi perbincangan hangat karena banyak jurnalis yang terkena kriminalisasi dari UU ITE.

Jaminan dalam UU Pers:

  1. Data dewan pers menunjukkan terdapt 1.794 media siber yang terdaftar di dewan pers.
  2. Belum ada jaminan perlindungan hukum bagi media yang belum berbadan hukum.
  3. Rentannya kriminalisasi terhadap UU ITE dan UU lainnya. Apalagi bagi media-media yang tidak terdaftar di dewan pers sangat rentan sekali terkena kriminalisasi UU ITE atau UU lainnya seperti KUHP dan Undang-undang tahun 1946 tentang pembaharuan hukum pidana yang di pasal 14 dan 15 berisi tentang berita bohong, kalau dalam UU ITE terdapat pasal menyebarkan kebencian terhadap unsur SARA.
  4. Keberadaan media yang mengandung informasi hoaks
  5. Virtual police sebagi pengawasan bukan mekanis UU Pers.
  6. MoU dewan pers dengan polri, kejaksaan, dan mahkamah agung. Setiap kasus yang masuk di kepolisian terkait dengan wartawan harus dilimpahkan terlebih dahulu ke dewan pers.

 

Tantangan lainnya adalah:

  1. Rentan menyebarkan hoaks menjadi ancaman hukum di UU ITE: Pasal 28 ayat (2) UU ITE (menebarkan kebencian terhadap SARA), pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 (berita bohong)
  2. Penyematan hoaks yang dilakukan oleh Kominfo dan APGAKUM lainnya
  3. Hoaks merupakan kkriminalisasi dan pasal yang sangat karet, namun hoaks kurang pas apabila dibilang tindak pidana.
  4. Hoaks tidak tepat dikategorikan sebagai tindak pidana, namun sangat perlu diberantas.
  5. Hoaks dapat dikaitkan dengan unsur ‘keamanan negara’ seprti kasus yang terjadi di papua. Dampaknya internet shutdown, throtling dan lain sebagainya.
  6. Masyarakat perlu pemahaman literasi media agar mendapatkan informasi yang berkualitas.