MEDIA BUKAN MUSUH KELOMPOK MINORITAS


“Kami komunitas waria masih tidak berani mengundang media, tapi kegiatan-kegiatan sosial kami ingin diekspos lebih luas,” tutur Tiara mewakili Persatuan Waria Pontianak (Perwapon) mengungkapkan kebingungan komunitasnya untuk melibatkan media.

Hal tersebut disampaikannya kepada tiga jurnalis Kalimantan Barat (Kalbar) dengan maksud mengajak media-media untuk bekerja sama mengubah pandangan masyarakat yang penuh stigma dan merendahkan waria atau transpuan. Sebab, aku Tiara, Perwapon mempunyai banyak kegiatan positif seperti kunjungan ke pesantren, kaum duafa, panti asuhan, panti jompo, dan sebagainya.

Menanggapi pertanyaan dari Tiara dan komunitas-komunitas rentan lainnya dari Kalbar dan Kalimantan Timur (Kaltim) bagaimana cara bersinergi dengan media, Manager Digital Tribun Pontianak Marlen Sitinjak, editor Suara Pemred Sheila Rimang, dan kontributor TEMPO Asheanty W. Pahlevi menyampaikan komitmen untuk memberikan lebih banyak ruang dalam pemberitaan terkait isu-isu keberagaman.

Sheila menegaskan, Suara Pemred menerima kelompok minoritas atau korban untuk menyampaikan aspirasi atau hak-haknya untuk diberitakan. Karena itu, di hadapan 20 peserta Workshop Advokasi Media untuk Komunitas yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dan Satu Dalam Perbedaan (SADAP) bekerja sama dengan USAID dan Internews (12-13 Juni), ia pun mengundang masing-masing komunitas untuk berkunjung membangun perjumpaan di jajaran redaksi Suara Pemred.

Selain itu, ia dan medianya mencoba memastikan lagi untuk lebih berhati-hati dalam memberitakan isu-isu agama, etnis dan keberagaman lainnya, agar tidak merugikan kelompok manapun. Sehingga, penting untuk tidak mengunakan judul-judul yang sensasional dan provokatif.

“Dalam pembuatan judul berita, terlebih bagian headline, kami sangat berhati-hati. Apalagi soal etnis di Kalbar,” ujar Sheila.

Sementara Tribun Pontianak membuka ruang bagi komunitas rentan untuk membangun kerja sama dalam menyuarakan aspirasinya. Marlen Sitinjak tidak berhenti sekadar mengakui “dosa-dosa” yang dilakukan dalam pemberitaan medianya. Dalam kesempatan ini ia mengundang kelompok-kelompok minoritas untuk ikut langsung mengisi medianya dengan karya-karya jurnalistik yang melaporkan isu-isu di sekitar mereka, dengan terlebih dahulu Tribun Pontianak bertemu dan melatih mereka.

“Kawan-kawan Ahmadiyah, LGBT, dan lainnya bisa menjadi citizen reporter untuk media kami,” kata Marlen.

Kegiatan bertema Membangun Ruang Aman di Media untuk Kelompok Minoritas di Daerah ini menjadi pengalaman pertama bagi banyak komunitas bisa berjumpa dengan kalangan jurnalis untuk membangun jembatan dalam bersama-sama menciptakan pemberitaan media yang ramah keberagaman. Seharusnya media bukan musuh kepentingan warga. Ini sejalan dengan semangat jurnalisme keberagaman yang didorong SEJUK untuk memberikan suara bagi kelompok minoritas.

“Karakter jurnalisme keberagaman memihak pada perbedaan, terutama pada korban, kelompok minoritas, sensitif gender, menjunjung HAM dan berperspektif jurnalisme damai,” tegas Dian Lestari Koordinator SEJUK Kalbar yang memberikan materi advokasi media dalam training yang dilakukan dengan protokol kesehatan ini.

Sementara Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mendasari para peserta dengan perspektif keadilan gender dan keberagaman seksualitas. Cara pandang ini dinilai cukup baru bagi kebanyakan peserta.

Ia memberi penegasan bahwa gender itu bentukan sosial, bukan alamiah. Konstruksi-konstruksi sosial tentang gender yang didominasi budaya patriarki dan heteronormatif ini, menurutnya berdampak pada sub-ordinasi dan marginalisasi, terutama terhadap perempuan dan minoritas seksual. Dari bentuk-bentuk relasi gender yang timpang inilah diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi.

Selain SEJUK membekali sensitivitas dan keterampilan advokasi media, kegiatan ini menjadi ajang solidaritas bagi sesama kelompok minoritas di Kalbar dan Kaltim.

“Di sini saya ketemu dengan komunitas lain yang saya gak tahu. Ada Ahmadiyah, Hindu, Kristen, Perwasa (Persatuan Waria Samarinda), Pertopan (Perkumpulan Tomboy Pontianak), dan lainnya. Di situ saya sadar, kita masih bisa melakukan hal-hal positif dan saya bukan penyakit masyarakat,” kata Herman mewakili Pelangi Khatulistiwa yang sepanjang kegiatan terus bergulat menguatkan identitas dirinya.

Kontribur : Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK)