Media dan Kolaborasi Gerakan Anti Korupsi

 

Media dan Kolaborasi Gerakan Anti Korupsi

Kegiatan Sosialisasi Platform ke 6 dihadiri oleh peserta umum dengan jumlah total peserta 27 orang yang meliputi 19 Laki-laki dan 8 Perempuan. Menghadirkan dua narasumber yaitu Tibiko Zabar Pradano dari Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Arief Putra Ramadhan selaku Koordinator Kerja Sama Organisasi Program MEDIA. Topik yang dibahas pada sosialisasi tersebut bertemakan, Media Dan Kolaborasi Gerakan Anti Korupsi.

 

Terdapat dua topik utama yakni tentang media dan kolaborasi dalam gerakan anti korupsi di Indonesia, suatu topik yang bisa dikatakan sebagai gerakan yang cukup baru. Isu kolaborasi gerakan anti korupsi dalam konteks gerakan masyarakat sipil sudah terjadi sejak lama terutama dalam ranah media. Isu korupsi ini menjadi sesuatu yang ramai diperbincangkan, perlu digaris bawahi bersama bahwa persoalan korupsi bukanlah persoalan yang serta-merta tuntas, isu korupsi menjadi perhatian banyak pihak.

Potret korupsi di Indonesia sampai saat ini berada pada situasi yang kurang baik, berdasarkan data Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2021 yang dirilis Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan negara Indonesia menempati rangking 96 dari 180 negara dengan skor 38, semakin tinggi skor semakin bagus. Skor tersebut menjadi catatan yang serius bagi gerakan anti korupsi di Indonesia. Meskipun pada tahun 2021 mengalami kenaikan satu peringkat, capaian tersebut tidaklah memuaskan, jika dibandingkan dengan beberapa tahun terakhir justru trend sebelumnya mengalami penurunan.

Korupsi di negara Indonesia acapkali dilakukan secara berjamaah atau dilakukan secara beramai-ramai bersama dengan keluarga, kerabat dan lain-lain. Berdasarkan hasil kajian data tren vonis korupsi yang dilakukan oleh ICW tahun 2021 menunjukkan bahwa pelaku korupsi semakin muda, setidaknya terdapat 24 terdakwa di bawah usia 30 tahun. Jumlah tersebut cukup besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

ICW  melakukan pemantauan penindakan kasus korupsi setiap tahun/ setiap semester 1&2, pematauan dilakukan terhadap kinerja penindakan kasus korupsi yang dilakukan oleh para penegak hukum baik Polisi,  Jaksa,  KPK dan lain sebagainya.  Dari hasil pemantauan pada tahun 2021 ditemukan terdapat 533 kasus dengan jumlah 1.173 tersangka. Dari kasus baru terdapat 484 kasus, 38 pengembangan kasus dan 11 kasus OTT.  Mirisnya adalah potensi kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi tersebut mencapai  angka RP. 29,43 triliun, nilai suap Rp. 212,5 miliar, nilai pungutan liar Rp. 5,97 miliar, dan nilai pencucian uang Rp. 20,97 miliar.

Dari angka 533 pelaku korupsi tersebut, aktor-aktornya didominasi oleh Aparatur Sipil Negara (ASN), swasta dan kepala desa. Temuan ICW menunjukkan kasus korupsi yang melibatkan unsur ASN dan swasta terjadi pada saat proses pengadaan barang/jasa. Sementara kepala desa merupakan aktor yang paling banyak ditangkap akibat melakukan penggelapan anggaran desa.

Secara harfiah di dalam KBBI, korupsi disebut sebagai penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain, atau dalam bahasa lain juga dikenal sebagai tindakan mencuri, merampok, atau merampas  hak-hak orang lain untuk keuntungan diri sendiri. Di Indonesia korupsi dianggap sebagai extraordinary atau kejahatan luar biasa. Korupsi dianggap sebagai kejahatan luar biasa karena dampak yang ditimbulkan akibat tidak korupsi sangatlah besar. Selain itu terdapat  pendapat lain dalam memahami makna korupsi, menurut Robert Klitgaard definisi korupsi yaitu C=M+D-A, artinya korupsi terjadi ketika monopoli ditambah diskresi dan akuntabilitas.

Penanganan terhadap tindak pidana korupsi diperlukan cara-cara yang tidak biasa misalnya dengan telah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memberantas korupsi dari aspek penegak hukum yang mempunyai kewenangannya cukup besar dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi.

Dalam UU 31/1999 jo 20/2011, terdapat 7 jenis korupsi menurut  UU Tipikor yakni berkaitan dengan kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, perbuatan pemerasan, perbuatan curang, benturan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Ketika membahas soal media dan kolaborasi gerakan anti korupsi, kerja jurnalistik selama ini adalah kerja yang tidak terpisahkan dari kerja pemberantasan korupsi, karena media dan jurnalis mempunyai peran krusial dalam memberitakan atau mengabarkan suatu peristiwa dalam konteks gerakan anti korupsi. Keberadaan media mempunyai posisi yang sangat sentral untuk menjalankan fungsi kontrol melalui pemberitaan, jurnalis dan media sebagai penyeimbang dan pengawasan terkait kebijakan.

Media atau jurnalis dapat memberikan pemahaman bagi para pemangku kepentingan, jadi satu sisi jika bicara keberpihakan tentu jurnalis atau media mempunyai pekerjaan yang besar terhadap kepentingan masyarakat. Selain itu, dengan adanya jurnalis juga memberikan desakan bagi para pemangku kepentingan untuk mengeluarkan kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sesuai dengan kepentingan publik bukan kepentingan kelompok. Berdasarkan hal inilah kolaborasi media dan gerakan anti korupsi secara perlahan dapat terlihat.

Dalam konteks demokrasi media dikatakan sebagai pilar ke empat, selain legislatif atau eksekutif. Oleh karena itu, keberadaan media dianggap sangat penting bagi gerakan masyarakat dalam konteks gerakan Pro demokrasi, karena jurnalisme anti korupsi ikut mendidik publik untuk kritis terhadap kasus korupsi maupun penyelenggaraan pemerintah.

Media dan gerakan anti korupsi merupakan irisan-irisan yang cukup relevan dalam konteks pembahasan media dan kolaborasi terkait gerakan anti korupsi. Pertama: ketika media jurnalis memberitakan atau menghasilkan suatu karya jurnalistik dan diberitakan di media dan masyarakat akan mendapatkan informasi dan edukasi. Melalui kanal digital masyarakat dapat mendapakan informasi terkait suatu peristiwa di tempat lain .Kemudian fungsi edukasi tesebut ikut berperan memberikan pemahaman, tidak hanya memberikan informasi tapi juga memberikan pemahaman Apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana seharusnya suatu peristiwa itu terjadi. Kedua: masyarakat bisa mengakses informasi. Ketiga: masyarakat paham, berdaya, dan mampu melakukan advokasi. Keempat: penegak hukum didorong untuk mengungkap kejahatan. Kelima: pembuat kebijakan dan penyelenggaraan layanan terbuka (didesak untuk terbuka) terhadap masukan masyarakat. Keenam: tata kelola pemerintah semakin akuntabel dan transparan. Ketujuh: peningkatan kualitas pelayanan. Kemudian delapan: mengurangi korupsi. Oleh karena itu, bisa ditarik kesimpulan kolaborasi media dan kolaborasi gerakan nanti korupsi menjadi satu kesatuan yang penting, karena keberadaan media ikut menentukan bagaimana mewujudkan delapan poin tersebut.

Dari segi dampaknya, korupsi dapat berdampak, di antaranya: berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi, menurunkan tingkat investasi dengan menambahkan beban transaksi ekonomi, kualitas sarana dan prasarana publik yang rendah, menciptakan ketimpangan pendapatan, dan meningkatkan kemiskinan.

Penting untuk dipahami bersama bahwa masyarakat sebagai korban korupsi. Korupsi bukan hanya urusan elit politisi atau penegak hukum. Masyarakat lah yang paling terdampak akibat tindak pidana korupsi. Oleh karenanya, perlu upaya bersama melawan korupsi dalam melakukan pengawasan. Berdasarkan hal tersebut, ICW sudah sejak lama menjadikan jurnalis sebagai mitra taktis sekaligus strategis dalam gerakan antikorupsi. Kolaborasi bersama para jurnalis telah menghasilkan beragam liputan yang turut membantu membongkar skandal kejahatan korupsi. Dalam kurun waktu 4 tahun terakhir, ICW ikut mendorong lahirnya kolaborasi antar jurnalis melalui wadah Klub Jurnalis Investigasi (KJI). Kolaborasi menjadi salah satu solusi dalam menghadapi tantangan antikorupsi.

Kolaborasi merupakan bagian dari partisipasi publik, dalam kolaborasi masyarakat bisa berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi dan telah dijamin UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 (Pasal 41 ayat 2), PP 71 Tahun 2000 tentang peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, PP 43 Tahun 2018 tentang tata cara pelaksanaan peran saerta masyarakat dan pemberian penghargaan dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kemudian publik bisa berpartisipasi dalam pengambilan kebijakan, mengawal penyelenggaraan pemerintah (UU No. 23 tahun 2014 jo. UU No.9 tahun 2015, PP No. 45 tahun 2017).

Upaya yang dapat dilakukan masyarakat sipil dan jurnalis dalam melakukan upaya perlawanan terhadap korupsi yakni dengan cara (Robert Klitgaard): Pertama: merubah budaya institusi/lembaga. Kedua: memobilisasi kawan, melawan korupsi membutuhkan sekutu mulai dari masyarakat sipil, swasta, orang-orang baik di pemerintahan, komunitas dan lain-lain. Ketiga: reformasi sistem. Selain itu, meningkatkan pengetahuan tentang antikorupsi, membentuk komunitas berjejaring, dan lakukan kampanye antikorupsi seperti pendidikan karakter dalam lingkungan terkecil di sekolah dan masyarakat.