SHARENTING, “BERBAHAYAKAH?”  

Penulis: Hanifah Atmi Nurmala

Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo

 

Perkembangan dunia digital yang tak terbendung menjadikan media sosial sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kehadiran media sosial telah menciptakan era baru yang memfasilitasi kebutuhan informasi dan komunikasi sehari-hari. Media sosial digambarkan sebagai saluran komunikasi online yang digunakan untuk berinteraksi, berbagi konten, dan berkolaborasi dengan orang lain. Beberapa platform media sosial yang populer di antaranya adalah Youtube, Facebook, Twitter, dan Instagram. Dengan bantuan berbagai platform tersebut, setiap orang dapat merencanakan acara, berbagi kenangan, terhubung kembali dengan teman, dan berkomunikasi dengan cepat dan efektif.

 

Konten media sosial dapat berupa foto, cerita, dan video yang menampilkan momen-momen bahagia, lucu, atau menggemaskan yang ingin dibagikan dengan keluarga dan teman. Perilaku orang tua yang membagikan berbagai informasi atau momen kehidupan anak mereka, termasuk foto dan video, di media sosial dikenal sebagai sharenting. Istilah ini adalah penggabungan dari kata “share” dan “parenting“. Keduanya dari Bahasa Inggris share yang artinya berbagi dan parenting yang artinya adalah hal mengenai atau cara mengasuh anak. Walaupun tujuan utama dari sharenting adalah berbagi pengalaman mendidik anak dengan orang lain, namun aktivitas ini juga dapat menimbulkan bahaya terhadap keselamatan dan privasi anak.

 

Hasil penelitian Microsoft tahun 2020 yang dilakukan terhadap remaja di Indonesia menunjukkan bahwa 53 persen dari responden tersebut menyatakan memiliki masalah dengan perilaku orang tua dalam mengunggah informasi tentang mereka secara online. Survei CBBC Newsround juga memperingatkan bahwa seperempat anak yang foto-fotonya dibagikan di internet merasa malu atau khawatir dengan tindakan ini.

 

Argumen pro dan kontra mengenai sharenting berkisar pada kewenangan orang tua terhadap anak dan hak privasi anak itu sendiri. Kontroversi ini muncul karena belum ada kesadaran akan batasan antara hak orang tua untuk membagikan konten tentang anak dengan hak privasi anak. Meskipun secara hukum orang tua memiliki kewenangan terhadap anak berdasarkan Pasal 47 ayat (1) UU No. 1 tahun1974 tentang perkawinan, dimana anak di bawah umur 18 tahun atau belum menikah masih di bawah kekuasaan orang tua. Namun, orang tua tetap perlu melibatkan peran anak terutama pada hal yang terkait dengan privasi anak.

 

Sayangnya, saat orang tua membagikan informasi tentang anak-anak mereka secara online, seringkali mereka melakukannya tanpa persetujuan anak-anak mereka. Walaupun kebanyakan motivasi untuk melakukan sharenting tidak buruk, bahkan mengharap yang terbaik untuk anak-anaknya. Seperti yang dilakukan orang tua untuk memposting video dan foto anak mereka yang berbakat, sehingga anak dapat diapresiasi secara luas dan meraih ketenaran sebagai influencer, selebgram, atau youtuber.

 

Dalam sharenting, orang tua harus mengambil peran ganda, tidak hanya bertanggung jawab melindungi privasi dan data diri anak namun orang tua juga sebagai juru kunci dari perjalanan hidup anak mereka yang menjadi konsumsi publik di ruang digital. Konflik yang akan muncul ketika suatu hari nanti anak-anak mungkin tidak menyukai postingan yang dibuat bertahun-tahun lampau oleh orang tua mereka. Selain itu, anak harus memiliki perlindungan jika identitas digital yang dibangun oleh orang tua dapat merugikan anak atau menempatkan anak dalam keadaan bahaya.

 

Selain masalah persetujuan anak, dengan sharenting data pribadi anak bisa tersebar luas dan dapat digunakan  oleh  orang  lain untuk hal-hal yang negatif, seperti ancaman pedofil, perdagangan anak, intimidasi, pencurian identitas, dan dampak negatif lainnya yang tentu sangat berpengaruh terhadap masa depan dan kesehatan mental anak. Kemajuan teknologi geo-tagging dari foto atau video yang diunggah sangat mungkin dimanfaatkan untuk mengungkapkan informasi pribadi tentang rumah, sekolah, tempat penitipan anak, atau lokasi bermain anak.

 

Fakta yang mengejutkan ditemukan dari penelitian oleh Children’s Safety Commissioner Australia pada tahun 2013 yang menunjukkan bahwa foto anak-anak di media sosial digunakan oleh situs pedofil. Pada tahun 2017, jaringan pedofil anak di Facebook dengan nama ‘Official Candy’s Group’ terbongkar di Indonesia. Grup tersebut memiliki 7.479 anggota dan berisi ratusan konten pornografi anak-anak. Menurut catatan Komnas Anak, selama Januari-Juni 2019, tercatat 420 kasus kekerasan terhadap anak, dimana 86 kasus di antaranya disebabkan oleh pengungkapan anak di media sosial. Lebih jauh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengungkapkan bahwa kasus kekerasan pada anak, terutama kekerasan seksual, mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan catatan data dari Sistem Informasi Online dan Anak (Simfoni PPA), terdapat 16.106 kasus kekerasan anak pada tahun 2022. Dari jumlah tersebut, kekerasan seksual menjadi jenis kekerasan yang paling sering terjadi, dengan 9.588 anak menjadi korban pada tahun 2022. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2019 yang mencatatkan 6.454 kasus, tahun 2020 dengan 6.980 kasus, dan tahun 2021 dengan 8.703 kasus.

 

Oleh karena itu, penting bagi orang tua dan pengguna media sosial untuk memperhatikan privasi anak dan menghindari membagikan informasi pribadi atau foto anak yang dapat membahayakan mereka di masa depan. Dengan adanya risiko bahaya dan kerugian yang akan timbul jika dilanggarnya privasi anak di internet oleh orang tua, harus dipertimbangkan dengan matang alasan orang tua melakukan sharenting. Berikut adalah beberapa tips untuk membantu menjaga privasi anak pada saat orang tua melakukan sharenting:

  1. Pahami kebijakan privasi media sosial

Pastikan Anda memahami bagaimana media sosial yang Anda gunakan memproses dan melindungi informasi pribadi Anda dan anak-anak Anda.

  1. Batasi jumlah foto yang diunggah

Batasi jumlah foto yang diunggah ke media sosial dan pastikan foto-foto itu tidak mengungkapkan informasi pribadi yang sensitif.

  1. Gunakan filter privasi

Sebagian besar platform media sosial memiliki filter privasi yang dapat membantu Anda mengontrol siapa yang dapat melihat foto anak Anda. Pastikan Anda memanfaatkan filter ini.

  1. Jangan mencantumkan informasi pribadi

Jangan mencantumkan informasi pribadi seperti nama lengkap anak, alamat rumah, atau nomor telepon di foto atau deskripsi postingan.

  1. Berbicara dengan anak-anak tentang privasi

Ajarkan anak-anak tentang privasi dan risiko mengunggah informasi pribadi di media sosial. Berbicara dengan mereka tentang bagaimana melindungi privasi mereka dapat membantu mereka menjadi lebih sadar akan risiko yang terkait dengan media sosial.

 

Mengunggah foto anak di media sosial dapat membawa risiko privasi dan kesehatan mental yang serius. Sebagai orang tua kiranya penting untuk mempertimbangkan risiko ini dan mengambil tindakan untuk melindungi privasi anak-anak Anda. Dengan mengikuti tips-tips ini, Anda dapat membantu menjaga privasi anak-anak Anda dan memberikan mereka lingkungan yang aman dan sehat untuk tumbuh dan berkembang. [HAN-HM]