FOMO Penyakit Netizen yang Berbahaya

Pernahkah Anda merasa ada keinginan kuat membuat status di Facebook karena tidak mau kalah dengan orang lain? Atau pernahkan Anda turut menyebarkan sebuah tweet karena menganggap konten tersebut sedang trending topic? Atau, apakah setiap melakukan aktivitas apapun Anda merasakan dorongan untuk mengunggah foto di feed atau story?

Jika salah satunya sering dialami bisa jadi saat ini Anda sedang mengidap FoMO, sebuah penyakit psikologis digital karena keinginan untuk eksis di media sosial. Penyakit yang muncul tidak hanya karena determinasi teknologi saja, melainkan adanya kebiasaan digital yang cenderung salah.

FoMO atau kepanjangan dari Fear of Missing Out merupakan sindrom karena takut ketinggalan atau dianggap tidak update di media sosial; ketakutan ini karena merasa di media sosial sajalah mereka mendapatkan tempat untuk dihargai dan menjadi pengguna yang layak disimak semua unggahannya.

Dalam konteks kajian psikologis, FoMO merupakan level terendah kebutuhan psikologis akan kepuasan dan sekaligus pengakuan akan kepuasaan itu. Dalam  Intrinsic motivation and self-determination inhuman behavior yang dipublikasikan Deci & Ryan (1985), penyakit digital ini muncul dari kondisi psikologis dimana seseorang membutuhkan pengakuan atau penghargaan dari orang lain yang bahkan bisa jadi orang-orang itu tidak dekat atau memiliki relasi/terkoneksi dengannya.

“Adanya kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain di media sosial dan pada aspek lain memunculkan rasa kekurangan (tertekan) apabila ada orang lain yang lebih berprestasi dibanding dirinya.”

Secara sederhana penyakit digital ini dapat dijelaskan dengan “adanya kebutuhan untuk dihargai oleh orang lain di media sosial dan pada aspek lain memunculkan rasa kekurangan (tertekan) apabila ada orang lain yang lebih berprestasi disanding dirinya”.

Uniknya pengguna digital banyak yang tidak menyadari bahwa mereka pengidap FoMO. Banyak desakan yang secara psikologis menguasai pengguna digital untuk melakukan apa saja demi mendapatkan pujian berupa jumlah like, komentar, atau menjadi viral. Dorongan ini juga berjalan bersamaan dengan karakter ingin merasa lebih dibandingkan dengan pengguna digital lainnya sehingga ada keinginan (palsu) untuk menjadi sumber referensi atau dianggap “yang paling tahu”.

Ini terjadi, dari berbagai penelitian dan publikasi jurnal ilmiah, pengidap FoMO adalah mereka yang di dunia nyata sering merasa tidak berarti dan orang-orang yang berada di lingkungan terdekat atau dikenal selalu memberikan respon berbeda dari yang diharapkan. Bahkan dalam berbagai konteks tertentu, adanya perasaan dikucilkan dan anggapan bahwa dirinya tidak berpretasi atau menjadi perhatian di dunia nyata.

Saat memasuki media sosial, pengidap FoMO menemukan bahwa banyak pengguna yang tidak mengetahui bagaimana realitas dirinya di ranah offline sehingga ia akan merasa nyaman berada di lingkungan asing online. Belum lagi banyaknya apresiasi—secara sederhana dimulai dari adanya like—dari posting-an apapun di media sosial. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan kebutuhan serta kebiasaan tanpa sadar yang menurut Claire Cohen (2013), apa yang dilakukan oleh pengidap FoMO sebenarnya hanya mengejar simbol status sosial di dunia virtual.

“Uniknya, FoMO ini muncul karena ada keinginan untuk menjadi apa yang juga dicapai oleh orang lain atau ‘personal brand’ sebuah pengejaran fatamorgana yang tidak akan terwujud dan juga hanya terjadi di dunia online saja.”

Penyakit digital ini dalam tataran mikro akan membahayakan diri netizen itu sendiri sebab berbagai kajian memang menunjukkan bahwa masalah terbesar dari FoMO adalah mental pengguna media sosial itu sendiri. Namun, secara makro apa yang diunggah bisa berdampak buruk terhadap pengguna media sosial lainnya.

Ini terjadi karena adanya keinginan untuk dihargai dan menjadi orang yang lebih tahu, seringkali tanpa sadar pengidap penyakit digital ini menyebarkan sebuah konten tanpa melakukan cek terhadap kebenarannya. Akibat dari kebutuhan untuk selalu meng-update status dan ketika mendapatkan konten yang sedang ramai diperbincangan di media sosial, maka ada desakan psikologis untuk juga paling tahu dengan turut menyebarkan konten.

Seringkali saat menyebarkan konten yang menjadi dasar dari perilaku tersebut adalah sekadar kebutuhan untuk “eksistensi diri karena selalu tahu peristiwa yang sedang terjadi atau trend ”. Pengidap FoMO tidak mempedulikan aspek kebenaran dan jelasnya sumber dari konten yang disebarkannya. Bahkan juga melakukan penyebutan (mention) ke beberapa akun yang terjalin pertemanan virtual.

Jelas ini mengkhawatirkan apabila yang diunggah atau disebarkan adalah hoaks. Alih-alih ingin mendapatkan pengakuan dari pengguna lain, pengidap FoMO malah jadi pelaku aktif penyebaran berita atau informasi bohong atau konten termanipulasi.

 

Penulis:
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si

Pakar media dan penulis buku Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi. Lulusan Program Doktoral Kajian Budaya dan Media dari Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada selain menjadi dosen di berbagai perguruan tinggi, juga sebagai konsultan manajemen komunikasi digital untuk institusi pemerintah maupun swasta.