Penulis: Cahya Suryani

Editor: Vinanda

Reviewer: Heni Mulyati

 

Pernahkah kita mengecek beranda media sosial kita? Berapa banyak teman di media sosial kita yang membagikan informasi? Media sosial ramai dengan berbagai unggahan makanan, promosi jualan, bahkan informasi. Informasi yang dibagikan pun beragam, informasi terkait perkembangan Covid-19 hingga informasi remeh temeh yang belum jelas kebenarannya. Siapa yang bisa menolak dengan pernyataan “masyarakat Indonesia terkenal dengan perilaku berbaginya”?

Konteks berbagi merupakan sebuah perilaku lumrah di kalangan kita. Kehidupan bertetangga rasanya kurang afdol kalau tidak ada kumpul-kumpul berbagi cerita dan kudapan.  Kebiasaan berbagi “kudapan” ini juga terbawa di kehidupan bermedia sosial kita. Hampir setiap hari beranda media sosial ramai dengan unggahan berbagi “kudapan” versi online, gurihnya informasi yang berbalut informasi mimpi, manisnya informasi hoaks, dan berbagai unggahan lainnya.

 

Budaya Berbagi dan Kroscek

Tidak ada yang salah dengan budaya berbagi. Namun, coba kita tengok budaya berbagi di media sosial, berapa banyak unggahan yang dibagikan sukses membuat keramaian? Berapa banyak ujaran kebencian yang dibalut dengan pengetahuan palsu yang menyajikan kudapan manis ataupun gurih. Kita yang akrab dengan media sosial berteman erat dengan budaya berbagi.

Konten apapun yang muncul di beranda, sedikit banyak memberikan pengaruh pada pola pikir dan bersikap kita. Kesadaran akan hal itu menuntut kita  untuk mampu kroscek informasi. Kesadaran untuk proses kroscek ini dimulai dengan pertanyaan awal “ siapa sumber informasi itu?” Pertanyaan siapa ini membuka akan pertanyaan-pernyataan kroscek lainnya.

Tidak lupa unggahan yang ramai di media sosial, belum jelas kebenarannya bisa saja informasi yang kita akses merupakan pengetahuan palsu. Kita harus pandai untuk mengecek kebenaran informasi tersebut, tentu saja tujuan dari pengecekan ini untuk membedakan fakta atau opini sebuah informasi. Kroscek informasi erat kaitannya dengan sikap skeptis. Bukan suatu hal yang memalukan namun perilaku yang dibutuhkan saat ini.

 

Pandemi dan Pengetahuan Palsu

Hampir dua tahun lebih kita mengalami pandemi Covid-19 dan disajikan dengan berbagai informasi. Informasi perkembangan virus Covid-19 hingga pengobatan Covid-19. Dibutuhkan keahlian untuk memilah informasi. Karena, tanpa kita sadari sejak pandemi Covid-19 bermunculan pakar-pakar yang eksis di media sosial dengan berbagai macam konten informasinya. Bahkan WHO mengumumkan pandemi Covid-19 juga dibarengi dengan fenomena infodemi. Infodemi diartikan sebagai meluapnya jumlah informasi Sebagian informasi akurat dan sebagian tidak yang menyebar bersamaan dengan wabah penyakit.

Menyebarnya pengetahuan palsu memberikan konsekuensi tersendiri, dalam konteks pandemi penyebaran pengetahuan palsu bisa menghambat upaya penanganan Covid-19 dan berakibat fatal bagi kita. “Covid-19 hanya flu biasa”, “minum minyak kayu putih bisa menyembuhkan Covid”, “Vaksin mengandung microchip” ini hanya tiga dari ribuan hoaks yang tersebar di masa pandemi.

Bisa dibayangkan berapa banyak masyarakat kita yang mempercayai pengetahuan palsu ini. Ditelisik dari laporan pemetaan Mafindo tahun 2020, hoaks yang berhasil diklarifikasi sebanyak 2.298 hoaks, dan hampir 1.000 lebih hoaks mengenai Covid-19. Begitu juga tahun 2021 dan 2022 hoaks yang berhubungan dengan Covid-19 dan juga penanganannya cukup banyak beredar di media sosial.

Penulis berdiskusi mengenai hoaks Covid-19 dengan beberapa mahasiswa. Hampir semua mahasiswa menjawab memercayai “meminum minyak kayu putih memberikan kesembuhan saat terkena Covid-19.” Bahkan dari hasil diskusi terkuat salah satu mahasiswa pernah minum dua botol minyak kayu putih agar hasil Swab PCR-nya negatif. Namun, meskipun sudah menghabiskan dua botol tersebut, hasil pemeriksaan masih menunjukkan positif Covid-19.

 

Sumber Informasi dan Pengaruhnya

Pengetahuan yang beredar di media sosial seringkali bersumber dari tiga akun utama. Akun media pers daring atau official, akun “influencer”, dan akun pengguna biasa. Hampir semua media konvensional memiliki akun di media sosial. Tapi seringkali kita mudah terkecoh dengan media pers daring ini. Banyak media abal-abal yang meniru media official untuk menarik pengguna media sosial. Fenomena ini tidak lepas dari pengetahuan palsu.

Maraknya akun-akun influencer yang berkembang di media sosial menjadi salah satu penyumbang beredarnya pengetahuan palsu. Unggahan dari influencer akan menjadi contoh dan bahan pertimbangan dalam perilaku masyarakat. Namun bukan berarti semua influencer memberikan pengaruh buruk, tetap ada kok yang membagikan pengetahuan fakta.

Pandai-pandai kita dalam memilih sumber informasi. Terlepas dari akun official dan akun influencer, di media sosial juga seringkali kita menemukan informasi yang dibagikan oleh pengguna media sosial “biasa”. Biasa yang diartikan sebagai akun pengguna pribadi yang memiliki jumlah pertemanan tidak sebanyak akun influencer. Pengguna tipe ini juga patut untuk di kroscek postingannya, jumlah likes, dan komentar dari temannya tercetak menjadi algoritma.

 

Hati-hati dengan Pengetahuan Palsu

Sumber-sumber postingan yang berseliweran di lini massa memberikan pengaruh pada perkembangan ilmu pengetahuan,mengapa? Karena memberikan sumbangan pada maraknya peredaran pengetahuan palsu, informasi yang diselimuti berita bohong. Peredaran opini secara tidak langsung menggiring masyarakat.

Informasi dapat beredar dengan cepat, karena kita mudah terpana dengan sesuatu yang “wow”. Kita menyukai informasi yang viral. Pengetahuan palsu menghantui ekosistem media sosial kita, dibutuhkan kemauan untuk mengecek informasi sebelum dibagikan. Kalau mau repot, cek sebelum membagikan. Jika tidak, stop informasi tersebut di beranda media sosial kita. Klik dan share dari kamu memberikan pengaruh pada pengguna lainnya.***