Penulis: Nuri Sadida
Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo
Di banyak negara, iklim politik beberapa tahun belakangan ditandai praktik ketidaksukaan dan ketidakpercayaan kepada anggota partai politik lawan. Misalnya, pada 2019, pemilih di Amerika Serikat semakin menilai anggota partai lawan tidak bermoral dibandingkan tiga tahun sebelumnya (Pew Research Center, 2019). Fenomena serupa juga muncul di banyak negara lain seperti Meksiko, Iran, dan Rusia (Pew Research Center, 2018). Fenomena ini juga disebut sebagai “polarisasi afektif,” sebuah istilah yang awalnya diciptakan untuk menggambarkan meningkatnya favoritisme kelompok atau dukungan lebih yang diberi ke anggota partai politik yang sama dibandingkan anggota partai politik lain. Polarisasi afektif yang meningkat di berbagai negara diyakini dapat berefek merugikan pada hubungan interpersonal dan sistem demokrasi secara umum. Individu yang terpolarisasi cenderung menarik diri dari partisipasi politik (Barrett et al., 2021), tidak mau berinteraksi dengan pihak partai politik lain dan pemimpinnya (Abramowitz & McCoy, 2019), serta ragu menerima kebijakan pemerintah yang dikuasai oleh oposisi (Hetherington & Rudolph, 2017).
Di Indonesia, polarisasi semakin meningkat setelah tiga pemilihan umum terakhir, yaitu Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Gubernur di Jakarta 2017, dan Pemilihan Presiden 2019. Banyak laporan mengaitkan awal kemunculan polarisasi di Pemilu 2014 dengan kehadiran buzzer politik yang terlibat dalam kampanye media sosial untuk kandidat politik (Lim, 2017). Buzzer politik adalah akun media sosial yang dikelola oleh individu atau perusahaan dengan jumlah pengikut yang banyak dan ikut serta melakukan kampanye politik dengan menyebarkan berbagai hoaks, berita, dan ujaran kebencian (Sugiono, 2020). Buzzer politik biasanya menggunakan akun anonim, mengutip berita atau sumber yang tidak dapat dipercaya (Center for Digital Society, 2021), dan menggunakan banyak robot untuk menyebarkan disinformasi, terutama berita bohong di media sosial (Sugiono, 2020).
Oleh karena itu, penting kiranya para pengguna media sosial memiliki kemampuan literasi media sosial yang memadai agar mampu membentengi diri dari pengaruh informasi negatif di media sosial yang dapat membuat kita terpolarisasi. Literasi media sosial didefinisikan sebagai kemampuan berpikir kritis tentang media sosial, yang melibatkan pengetahuan dan keterampilan untuk menganalisis, mengevaluasi, memproduksi, dan berpartisipasi dalam media sosial (Tamplin et al., 2018). Tingkat keterampilan literasi media yang memadai dapat membantu seseorang untuk mengurangi bias dalam mengakses informasi (Vraga et al., 2009)
Lalu, pendidikan literasi media sosial seperti apakah yang dapat berperan untuk mengatasi polarisasi afektif? Menurut penelitian yang dilakukan Penulis di Radboud University pada tahun 2023, terdapat beberapa karakteristik pengguna media sosial yang tidak mudah terpolarisasi. Di antaranya mereka yang memiliki kemampuan literasi media sosial yang kuat dalam elemen mengkritisi informasi (critical social media literacy) dan waspada informasi (awareness social media literacy). Selain itu, ditemukan juga bahwa semakin banyak atau variatif akun yang seseorang miliki di berbagai platform media sosial, semakin banyak seseorang menggunakan media sosial secara pasif, semakin tidak mudah pula ia terpolarisasi. Penggunaan media sosial secara pasif ditandai oleh aktivitas yang lebih banyak mengamati konten orang lain daripada membuat konten secara aktif. Oleh karena itu, pengembang materi literasi media sosial dapat mempertimbangkan temuan-temuan ini dalam memberikan pendidikan literasi media sosial.
Temuan lain dari studi Penulis yaitu pengguna Facebook adalah pengguna yang paling mudah terpolarisasi dibandingkan pengguna media sosial platform lain seperti TikTok, Instagram, dan Twitter. Sehingga pelatihan literasi media sosial juga dapat mempertimbangkan untuk memprioritaskan pengguna Facebook. Namun, dalam penelitian tersebut, belum terlalu jelas alasan mengapa karakteristik-karakteristik tersebut memengaruhi tingkat polarisasi afektif seseorang. Sehingga, masih sangat terbuka untuk penelusuran lebih jauh terkait faktor-faktor yang memengaruhi polarisasi tersebut. [NS-HM]