IKAN PARI : HOAKS LAMA BERSEMI KEMBALI

Penulis: Cahya Suryani

Editor: Violita

Reviewer: Heni Mulyati

 

Fenomena Hoaks Ikan Pari

Beberapa waktu lalu, kita dikagetkan dengan informasi bahwa ada seorang anak yang berubah menjadi ikan pari karena menendang orang tuanya saat sedang salat. Video yang beredar di Youtube dengan judul Durhaka Ikan Pari telah sukses menarik penonton sebanyak 209.000 orang. Berbagai versi video ikan pari ini beredar. Terdapat video yang beredar di Youtube sejak tahun 2012, bahwa ada anak yang durhaka terhadap orang tuanya berubah menjadi ikan pari, versi ini terjadi di kota Palembang Sumatera Selatan.

Versi lain beredar tahun 2007 melalui platform Youtube juga dengan narasi seorang gadis yang durhaka pada orang tuanya dan akhirnya dia dikutuk menjadi ikan pari dengan lokasi dari video di Kalimantan. Kesamaan dari hoaks ikan pari tersebut adalah rekaman video dari kutukan seorang ibu terhadap anaknya yang durhaka. Ikan pari tersebut tampak diletakkan di atas tempat tidur dengan dikelilingi suara orang membacakan ayat Al-Quran. Video berdurasi 30 detik ini telah berhasil membuat anak-anak 90-an ketakutan dan tidak berani melawan orang tuanya. Perbedaannya adalah lokasi kejadian yang mengikuti wilayah penyebarannya.

Versi lain dari hoaks ini adalah saat warganet menyandingkan foto ikan pari dengan postingan selebgram Awkarin. Tahun 2017 Awkarin membuat video musik dengan judul Bad Ass. Video musik ini diunggah ke situs berbagi video Youtube. Komentar yang diperoleh pun beragam dan ada kritik negatif salah satunya memberikan komentar “Pernah liat video azab ikan pari?” netizen menyamakan wajah Awkarin dalam video tersebut dengan viral azab ikan pari.

Faktanya video tersebut mengandung unsur hoaks, di mana ada tambahan narasi ikan tersebut adalah kutukan anak yang durhaka terhadap orang tuanya. Ikan pari termasuk dalam jenis ikan shovelnose guitarfish memiliki nama ilmiah rhinobatidae.

Hoaks video mengenai ikan pari ini menjadi salah satu hoaks fenomenal. Isu ini menjadi fenomenal karena masyarakat memiliki ingatan kuat terhadap cerita anak durhaka yang dikutuk menjadi ikan pari. Walaupun hoaks ini telah diklarifikasi kebenarannya, namun hoaks ini masih sering dibagikan di media sosial.

 

Psikologi Hoaks

Fenomena menyebarnya informasi hoaks yang berulang tidak terlepas dari dinamika psikologis hoaks. Individu memiliki kecenderungan untuk percaya pada informasi yang sesuai dengan sikap atau persepsi yang telah dimilikinya. Begitu juga respons saat menerima informasi yang bertolak belakang dengan persepsi ataupun sikap yang dimilikinya, individu tersebut cenderung enggan untuk melakukan pengecekan kebenaran dari informasi tersebut.

Di era banjir informasi, pengguna media sosial dan masyarakat pada umumnya memiliki peluang mendapatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta. Kemampuan periksa fakta ini berbeda dengan kemampuan mengoperasikan alat teknologi. Kemampuan individu dalam memilih dan mengecek sumber dari informasi berkaitan langsung dengan literasi digital. Mengutip Cahya Suryani saat seminar peluncuran PESAT (Paguyuban Ekosistem Informasi Sehat) Jawa Timur “Setiap individu memiliki kecenderungan untuk mudah dimanipulasi,” dalam artian semua orang memiliki potensi untuk mudah percaya pada sebuah informasi walaupun informasi yang diterimanya belum tentu kebenarannya.

Selain dua hal itu, unsur anonimitas dari sebuah informasi mempengaruhi individu dalam menyebarkan kembali informasi yang telah diterima. Seringkali kita menemukan informasi hoaks yang memiliki kalimat pembuka “Izin sekadar share dari grup sebelah, sekadar berbagi info dari sumber terpercaya,” informasi yang seperti ini dapat menimbulkan perasaan lepas tanggung jawab. Jika informasi yang dibagikan tersebut salah, maka luntur tanggung jawab dari yang menyebarkan informasi berantai tersebut.

Kemunculan hoaks ikan pari yang melegenda di media sosial, baik sebagai meme atau lelucon dipengaruhi oleh alat produksi hoaks tersebut. Hoaks ini menggunakan alat berupa video dan narasi yang tampil di dalam video tersebut. Penggunaan unsur video yang termasuk dalam bentuk visual akan memberikan efek kuat dan tahan lebih lama di memori otak kita. Begitupun juga hoaks berbentuk visual lainnya.

Jadi, hoaks lama bersemi kembali bukan berfokus pada hoaksnya, namun pada cerita atau informasi yang beredar secara turun temurun di masyarakat. Cerita tersebut mengalami modifikasi secara aktual menyesuaikan peristiwa yang terjadi dibantu dengan teknologi digital. Teknologi digital yang berkembang saat ini memudahkan pembuatan hoaks, namun di sisi lain teknologi tersebut seharusnya membantu individu untuk melakukan pengecekan sumber informasi.***