Berbagi secara Online, Kenapa Tidak?

Penulis: Cahya Suryani

Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo

 

Kekacauan informasi, penyebaran konten intim nonkonsensual, dan cyberbullying hampir selalu mewarnai dunia digital saat ini. Namun yang sering kali terlupakan adalah sisi positif dari dunia digital. Internet dan segala rupanya tidak selalu memberikan dampak negatif bagi penggunanya. Dunia digital tidak luput dari berkembangnya perilaku altruisme atau dikenal sebagai fenomena berbagi melalui media internet. Altruisme atau perilaku berbagi merupakan bentuk perilaku sukarela yang pada awalnya berkembang melalui dunia fisik dan diperluas ke dunia maya.

 

Myers dan Twenge (2019) menggaris bawahi bahwa altruisme adalah tindakan menolong untuk memberikan keuntungan dan kesejahteraan kepada pihak lain tanpa mengharapkan imbalan. Keuntungan saat menolong bukan berupa materi namun lebih ke arah kepuasaan diri, wujud rasa syukur atas kemampuan yang telah dimiliki. Umumnya, di dunia nyata perilaku ini ditunjukkan melalui tindakan mengambilkan buku teman yang jatuh, berbagi recehan pada pengamen di jalan raya atau bersedekah, dan masih banyak perilaku lainnya. Penduduk Indonesia baik di kota maupun desa mudah berperilaku menolong. Berdasarkan survei dari Charities Aid Foundation (CAF), 1 dari 8 penduduk di Indonesia bersedia terlibat dalam kegiatan relawan dan mendonasikan uangnya (CAF, 2021).

 

Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana bentuk perilaku altruisme di dunia digital? Perubahan seperti apa yang terjadi dari altruisme offline ke altruisme online? Lou dkk (2021) menyebutkan altruisme online merupakan perilaku menolong orang lain tanpa mengharapkan imbalan yang dilakukan melalui media online. Perilaku ini tidak terlepas dari bentuk relasi-relasi yang terjadi di dunia digital. Perbedaannya hanya terletak pada media penyampaian bantuan yaitu melalui internet.

 

Fenomena altruisme awal-awal muncul saat booming Facebook yaitu saat pengguna media sosial berbondong-bondong melakukan pengumpulan koin untuk Prita vs RS Omni, lalu dukungan terhadap kasus KPK yang dikenal Cicak vs Buaya, dan yang terbaru fenomena Sedekah Jumat di platform Tiktok. Konten ini berisikan kegiatan sedekah di Hari Jumat yang diawali dengan proses memasak makanan dan dibagikan kepada individu yang membutuhkan. Konten ini ramai di platform Tiktok dan pemengaruh (influencer) yang membuat konten ini pun beragam dari follower yang jumlahnya seratus hingga pemengaruh yang pengikutnya mencapai jutaan. Konten ini menarik pengguna media sosial untuk ikut serta membantu Sedekah Jumat tersebut.

 

Kok ada yang mau ikut serta berbagi secara online? Hu pada tahun 2020 melakukan penelitian mengenai salah satu dorongan individu melakukan altruisme online, di antaranya karena  pengaruh situasi online sendiri yang dapat memberikan dorongan pada seseorang untuk  dapat menolong lebih cepat dan sesuai dengan kebutuhan dari orang yang membutuhkan pertolongan. Contoh nyata dari altruisme online adalah saat pandemi Covid-19, terjadi peningkatan penderita Covid-19 disertai kebutuhan tabung oksigen. Masyarakat melalui media online baik secara pribadi maupun komunitas berbagi informasi. Kecepatan media online membantu masyarakat yang membutuhkan untuk mendapatkan akses terhadap barang tertentu. Perilaku berbagi informasi ini juga termasuk dalam bentuk altruisme online.

 

Sebenarnya altruisme online dalam penelitian psikologi disebut sebagai internet altruistic behavior (IAB). Perilaku yang dilakukan secara sukarela untuk menolong orang lain secara online tanpa adanya paksaan dan tidak mengharapkan imbalan (Jiang dkk, 2017). Berdasarkan penelitian Zhou dkk (2019) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan altruisme offline dan altruisme online yaitu umumnya individu yang memberikan pertolongan dan menerima pertolongan melalui online tidak saling kenal atau belum pernah ketemu sebelumnya. Selain itu unsur anonim di media online memberikan pengaruh terhadap semakin banyaknya pihak-pihak yang memberikan pertolongan dibandingkan pertolongan secara offline. Sifat anonim ini memberikan situasi rileks dalam berinteraksi sosial sehingga kemungkinan akan lebih cepat memberikan pertolongan.

 

Mengapa altruisme online lebih berkembang? Dikarenakan kemudahan akses informasi dari pengguna, kebebasan untuk mencari informasi dari pihak yang membutuhkan, serta meminimalisir hambatan. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Amichal-Hamburger (2008) yang menggarisbawahi level personal altruisme online bahwa individu dapat berkomunikasi dengan siapa pun serta memperoleh informasi yang dibutuhkan secara cepat. Sedangkan dari level kelompok interaksi sosial online mampu memberikan kemudahan untuk setiap individu pengguna media online untuk saling menolong dan bertukar informasi atau pengetahuan baru.

 

Salah satu alasan individu senang melakukan altruisme online adalah meningkatnya subjective well being yang dimilikinya. Penelitian dari Moynihan dkk (2015) menghasilkan bahwa altruisme digital mampu meningkatkan kesejahteraan hidup individu khususnya karyawan saat mereka dapat membantu karyawan lain secara online. Secara tidak langsung altruisme online dapat membangkitkan perasaan dan emosi positif individu saat memberikan bantuan sehingga kesejahteraan hidup individu tersebut pun meningkat. Sensasi menolong yang didapat secara offline dapat dirasakan pula di ruang digital. [CS-HM]