Penulis: Violita Siska Mutiara, SST, M.Kes
Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo
Memasuki era digital dan percepatan teknologi menghadapi adaptasi kebiasaan baru pascapandemi, hoaks kesehatan menyebar dengan cepat melalui media sosial, aplikasi pesan instan, dan platform daring lainnya. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), sejak Agustus 2018 sampai 31 Maret 2023, total hoaks yang ditemukan atau terlapor sebanyak 11.357. Isu kesehatan menjadi temuan terbanyak yaitu 2.256 hoaks. Contoh hoaks kesehatan yang sempat fenomenal di Indonesia antara lain tentang vaksin Covid-19 yang mengandung chip pelacak, kasus-kasus kematian diisukan karena vaksin Covid-19 yang ternyata salah, pengobatan atau makanan atau minuman untuk mengobati Covid-19 yang ternyata belum ada bukti ilmiahnya, vaksin MMR (Measles, Mumps, dan Rubella) dapat menyebabkan autisme pada anak, vaksin HPV (Human Papillomavirus) dapat menyebabkan infertilitas pada perempuan, serta berbagai macam hoaks lainnya.
Kunci utama untuk melawan hoaks kesehatan adalah meningkatkan literasi kesehatan individu dan masyarakat. Literasi kesehatan merupakan kemampuan individu untuk mencari atau mengakses, memahami, menilai, dan memanfaatkan atau menggunakan informasi kesehatan secara efektif, untuk membuat keputusan terkait kesehatan diri, keluarga, dan lingkungan sekitarnya. Salah satu langkah yang dapat diambil dalam rangka meningkatkan literasi kesehatan adalah mengoptimalkan edukasi kesehatan sesuai kebutuhan masyarakat, memodifikasi modelnya sesuai minat sasaran, dan perkembangan tren yang sedang populer.
Selama pandemi, pendekatan daring menjadi pilihan utama untuk menyampaikan edukasi kesehatan. Pascapandemi, edukasi kesehatan daring tetap menjadi pilihan yang relevan dan efektif. Penggunaan teknologi dan akses internet yang semakin luas membuat edukasi kesehatan secara daring menjadi lebih mudah diakses oleh masyarakat. Aksesibilitas terkait kondisi geografis Indonesia, fleksibilitas waktu dan tempat, efisiensi biaya, juga menjadi nilai lebih dari pendekatan ini. Penyelenggara promosi kesehatan dapat menggali ide sekreatif mungkin untuk dapat menyajikan program yang interaktif melalui forum diskusi, konsultasi kesehatan secara daring, sesi tanya jawab dengan narasumber ahli kesehatan, atau melalui berbagai konten interaktif di media sosial. Penggunaan teknologi inovatif seperti Artificial Intellegence (AI), Augmented Reality (AR), atau Virtual Reality (VR) dapat memberikan pengalaman belajar yang interaktif, menarik, dan lebih nyata kepada peserta.
Namun seperti pisau bermata dua, berbagai macam teknologi inovatif tersebut juga memiliki dampak negatif. Artificial Intellegence (AI) generatif selain bisa menciptakan konten menarik terkait literasi kesehatan, ternyata memiliki risiko pula. Manusia semakin sulit mendeteksi hoaks, terutama konten yang merupakan hasil AI berupa gambar atau video. Hal ini memudahkan pembuat hoaks untuk menghasilkan konten yang menyesatkan dengan cepat. AI dapat digunakan untuk menciptakan deepfake, yaitu manipulasi media seperti video atau audio yang tampak sangat autentik dan meyakinkan. Contohnya video dokter atau ahli kesehatan yang menyampaikan suatu hasil penelitian yang sebenarnya tidak ada. Hal ini dapat membingungkan dan menyesatkan masyarakat.
Untuk mengantisipasi bahaya tersebut dan dalam rangka menghadapi era digital, pesan utama dalam edukasi literasi kesehatan juga mengalami perubahan cara pandang. Edukasi kesehatan tidak lagi cukup hanya memfokuskan pada penyampaian informasi kesehatan, tetapi juga memberdayakan individu dengan keterampilan di era digital. Masyarakat harus dilatih untuk dapat memverifikasi informasi, menganalisis konten, penggunaan teknologi dengan bijak, serta tanggung jawab sosial dan hukum dalam menyebarkan informasi kesehatan. Dengan adanya perubahan cara pandang ini, masyarakat akan memiliki kemampuan berpikir kritis, terampil dalam pengambilan keputusan terkait kesehatan, serta lebih tanggap dan tangguh menghadapi hoaks kesehatan di era digital. [VSM-HM]