Kampanye Perdamaian Lewat Media Sosial, Efektif Nggak Sih?

Penulis: Vinanda Febriani

Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo

 

Medsos dan Ujaran Kebencian

Beberapa tahun terakhir ini, terutama sejak adanya Pilpres dan Pilkada Langsung yang berujung pada polarisasi pemilih, lahir narasi negatif di berbagai platform media sosial (medsos) yang mengakibatkan perpecahan. Berangkat dari rasa keprihatinan akan perpecahan bangsa tersebut, beberapa komunitas dan aktivis yang berfokus pada isu sosial bergerak membangun kampanye berbasis digital untuk menangkal isu negatif di medsos. Sebagai contoh adalah kampanye perdamaian yang dilakukan oleh para aktivis lintas generasi di Jaringan Gusdurian.

 

Kampanye perdamaian ini banyak diprakarsai oleh generasi muda, yang terdorong jiwanya oleh perasaan cemas akan masa depan bangsa bila polarisasi makin marak akan merusak kerukunan yang terjalin di tengah masyarakat. Para kawula muda mendambakan Indonesia yang damai sejahtera tanpa benih permusuhan dan perpecahan antar sesama anak bangsa.

 

Sisi positifnya, gerakan ini diikuti oleh berbagai peminat pada isu yang sama. Tak hanya itu, Pemerintah juga turut menyokong kampanye perdamaian itu melalui banyak program baik di tingkat kementerian maupun lembaga dan instansi resmi. Namun yang jadi perhatian di kemudian hari, seberapa efektifkah kampanye perdamaian melalui medsos?

 

Kita tarik sejenak sejarah pada tahun 2018, dimana momen terbongkarnya sindikat produsen hoaks dan ujaran kebencian bernama “Saracen” yang diketahui memproduksi hingga ratusan konten per harinya dan memiliki puluhan akun anonim untuk menyebarkannya. Saracen adalah penyedia jasa penyebaran informasi di medsos, konten yang dibuat menyesuaikan dengan keinginan pemesannya.

 

Tak heran jika pada tahun 2019 lalu Kasatgas Nusantara, Irjen Pol Gatot Eddy Pramono menyebutkan data penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di medsos periode 2017-2018 sangat tinggi yakni sebanyak 3.884 konten, 2.533 konten di antaranya disebarkan melalui akun-akun anonim yang tidak jelas identitas kepemilikannya. Hal ini masih berkaitan erat dengan konten-konten yang diproduksi oleh sindikat Saracen. Pada tahun 2022, Polri melaporkan 1.042 akun medsos untuk diberikan peringatan karena diduga menyebarkan konten bermuatan ujaran kebencian terkait SARA, terutama berkaitan dengan agama.

 

Efektifkah Medsos?

Dari data-data di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat ujaran kebencian di medsos masih cukup besar angkanya. Persentase terbesar ujaran kebencian didominasi oleh konten yang menyinggung agama seseorang atau kelompok lain yang berseberangan. Meski persentase konten bertema perdamaian juga tinggi, namun ujaran kebencian masih terus beredar dan menyebar mengotori arus informasi di internet.

 

Secara umum, konten yang mempromosikan perdamaian telah banyak mendapat insight di medsos. Namun demikian kampanye-kampanye ini harus terus dipertahankan dan ditingkatkan kapasitasnya supaya makin menyadarkan banyak pihak akan pentingnya perdamaian dalam berbagai aspek kehidupan.

 

Pengguna medsos di Indonesia memiliki angka yang besar. Besarnya pengguna medsos ini masih menjadi peluang bagi aktivis untuk kampanyekan perdamaian. Kreativitas pembuat konten dan konten yang sesuai dengan target pengguna medsos menjadi hal yang penting untuk dipertimbangkan agar kampanye perdamaian berjalan efektif.

 

Hingga kini, konten ujaran kebencian masih terus beredar. Menjelang perhelatan akbar Pemilu 2024, konten-konten negatif akan terus diproduksi untuk mencapai keuntungan sepihak dengan cara mencerca pihak lawan. Sebagai pengguna medsos yang bijak, tugas kita adalah memperbanyak konten positif untuk persatuan dan kesatuan bangsa. Jangan sampai kita mengulang lelahnya menyaring tsunami ujaran kebencian seperti pada momen pemilu sebelumnya. [VF-HM]