Penulis: Cahya Suryani
Editor: Tim Komite Edukasi Mafindo
Mengapa saat pandemi Covid-19 ada yang percaya meminum minyak kayu putih bisa menyembuhkan Covid-19?
Mengapa masih ada yang percaya mencampur minyak kayu putih di segelas air hangat bisa meredakan batuk?
Kenapa masih ada yang percaya meminum air kelapa setelah vaksin bisa menetralisir racun dalam vaksin?
Semua pertanyaan di atas berhubungan dengan bias konfirmasi. Bias konfirmasi merupakan suatu kecenderungan individu untuk mencari bukti yang mendukung kepercayaan yang telah diyakininya. Kecenderungan ini bisa membuat individu tersebut mengabaikan bukti-bukti yang bertentangan dengan keyakinannya.
Blount (2017) mendefinisikan bias konfirmasi sebagai kecenderungan individu membangun keyakinan dengan mencari informasi yang sejalan dengan pemikirannya saja. Pernyataan ini diperkuat Rolf Dobelli yang menggarisbawahi bias konfirmasi sebagai kecenderungan manusia untuk menafsirkan informasi baru selaras dengan teori dan kepercayaan yang sudah ada dan menyingkirkan semua informasi baru yang bertentangan dengan apa yang diyakininya. Dengan kata lain bias konfirmasi merupakan sebuah kecenderungan individu untuk menerima atau menolak sebuah informasi berdasarkan preferensi yang telah dimiliki sebelumnya.
Kok bisa individu bisa terkena bias konfirmasi? Seperti apa gambaran individu yang mengalami bias konfirmasi?
Contoh sederhana, pertama saat A berdiskusi dengan B, individu B memberikan saran yang bertentangan dengan pemikiran A, respons A menolak saran tersebut dengan mengatakan berbagai alasan. Dari contoh ini, A merupakan individu yang mengalami bias konfirmasi karena menolak saran yang bertentangan dengan pemikirannya.
Bias konfirmasi bisa terjadi karena berbagai faktor. Tanpa disadari, kita membentuk argumen tanpa bukti empiris atau logika, melainkan dari kepercayaan pribadi baik faktor dalam diri maupun faktor luar diri seperti pengaruh teman, keluarga, ataupun pengalaman orang lain. Seringkali kita mendengarkan atau membaca informasi dengan kalimat pengantar kata teman saya, atau kata si A, ini salah satu contoh bias konfirmasi jika kata tersebut tanpa dilandasi logika atau bukti empiris. Hal inilah yang menjadi penyebab orang pintar pun dapat percaya hal-hal di luar nalar.
Selain berdasarkan sumber informasi, bias konfirmasi juga bisa terjadi karena cara memahami informasi yang diterima berdasarkan pengalaman pribadi. Contohnya, saat pandemi Covid-19 ramai informasi mengenai meminum minyak kayu putih bisa membunuh virus Covid-19. Beberapa mencoba meminumnya dan hasilnya batuknya berkurang dan sembuh. Akhirnya informasi tersebut dipercaya karena mereka sudah mencoba dan berhasil. Namun pada kenyataannya bisa jadi pengalaman keberhasilan tersebut tidak hanya karena mengonsumsi minyak kayu putih, tapi juga mengonsumsi buah-buahan ataupun obat lainnya dalam kesehariannya. Bisa saja individu tersebut tidak menyertakan informasi utuh terkait kesehariannya hingga dia sembuh, dia hanya berkesimpulan bahwa kesembuhannya karena mengonsumsi minyak kayu putih.
Hoaks salah satu bentuk bias konfirmasi
Media sosial melalui algoritmanya turut memberikan dukungan terkait bias konfirmasi yang terjadi saat ini. Pengguna media sosial hanya mendapatkan informasi yang sesuai dengan apa yang diinginkan dan sejalan dengan pemikirannya. Secara psikologis, manusia menyukai informasi yang dapat menguatkan kepercayaan dan nilai yang telah mereka yakini sebelumnya.
Informasi bohong atau hoaks bukan hal baru di era digital dan sudah ada sejak manusia saling berkomunikasi satu sama lain. Internet dan media sosial turut berperan dalam percepatan penyampaian informasi di masyarakat termasuk hoaks. Hoaks yang beredar umumnya menyertakan sumber yang seolah-olah kredibel dan dapat dipercaya. Hoaks menyebar begitu cepat dan luas karena belum banyak individu yang dapat membedakan sumber resmi dan tidak. Dengan kata lain hoaks merupakan salah satu hasil dari bias konfirmasi yang dimiliki individu.
Tidak ada jaminan seorang pun di dunia ini yang bisa luput dari bias konfirmasi dan terkena jeratan hoaks. Oleh karena itu hendaknya kita selalu memberi jeda terhadap setiap informasi yang diterima, tidak langsung dibagikan. Cek sumber informasi dan membandingkan informasi tersebut dengan sumber yang berbeda. Diri kita pun harus siap menerima ketika ternyata keyakinan yang selama ini diyakini adalah salah dan siap menerima adanya informasi baru yang lebih valid atau benar.[CS-HM]